Perkembangan Intelektual Sosial Dan Bahasa
BAB I
INTELEKTUAL
intelektual ialah orang yang menggunakan kecerdasannya untuk bekerja, belajar, membayangkan, mengagas, atau menyoal dan menjawab persoalan tentang berbagai gagasan. Kata cendekiawan berasal dari Chanakya, seorang politikus dalam pemeritahan Chandragupta dari Kekaisaran Maurya.
Secara umum, terdapat tiga pengertian modern untuk istilah "intelektual", yaitu:
1. mereka yang amat terlibat dalam idea-idea dan buku-buku;
2. mereka yang mempunyai keahlian dalam budaya dan seni yang memberikan mereka kewibawaan kebudayaan, dan yang kemudian mempergunakan kewibawaan itu untuk mendiskusikan perkara-perkara lain di khalayak ramai. Golongan ini dipanggil sebagai "intelektual budaya".
3. dari segi Marxisme, mereka yang tergolong dalam kelas dosen, guru, pengacara, wartawan, dan sebagainya.
Oleh karena itu, cendekiawan sering dikaitkan dengan mereka yang lulusan universitas. Namun, Sharif Shaary, dramawan Malaysia terkenal, mengatakan bahwa hakikatnya tidak semudah itu. Ia berkata:
"Belajar di universitas bukan jaminan seseorang dapat menjadi cendekiawan... seorang cendekiawan adalah pemikir yang sentiasa berpikir dan mengembangkan (serta) menyumbangkan gagasannya untuk kesejahteraan masyarakat. Ia juga adalah seseorang yang mempergunakan ilmu dan ketajaman pikirannya untuk mengkaji, menganalisis, merumuskan segala perkara dalam kehidupan manusia, terutama masyarakat di mana ia hadir khususnya dan di peringkat global umum untuk mencari kebenaran dan menegakkan kebenaran itu. Lebih dari itu, seorang intelektual juga seseorang yang mengenali kebenaran dan juga berani memperjuangkan kebenaran itu, meskipun menghadapi tekanan dan ancaman, terutama sekali kebenaran, kemajuan, dan kebebasan untuk rakyat."
Tiga tahap perkembangan intelektual
Menurut August Comte ada tiga tahap perkembangan intelektual, yang masing-masing merupakan perkembangan dari tahap sebelumya:
1. Tahap teologis; tingkat pemikiran manusia bahwa semua benda di dunia mempunyai jiwa dan itu disebabkan oleh suatu kekuatan yang berada di atas manusia.
2. Tahap metafisis; tahap manusia menganggap bahwa didalam setiap gejala terdapat kekuatan-kekuatan atau inti tertentu yang pada akhirnya akan dapat diungkapkan. Oleh karena adanya kepercayaan bahwa setiap cita-cita terkait pada suatu realitas tertentu dan tidak ada usaha untuk menemukan hukum-hukum alam yang seragam.
3. Tahap positif: tahap dimana manusia mulai berpikir secara ilmiah.
Cendekiawan bisu dan palsu
Sharif Shaary menegaskan bahawa seorang "cendekiawan" bukan hanya sekadar berpikir tentang kebenaran tetapi harus menyuarakannya, apapun rintangannya. Seorang cendekiawan yang benar tidak boleh netral, dan harus memihak kepada kebenaran dan keadilan. Dia "tidak boleh menjadi cendekiawan bisu, kecuali dia betul-betul bisu atau dibisukan".
Jika betul-betul bisu, seorang cendekiawan masih dapat bertindak dengan menyatakan pikiran melalui penulisan yang akhirnya akan sampai juga kepada khayalak ramai. Inilah yang dikatakan cendekiawan bisu yang tidak bisu. Sebaliknya, terdapat cendekiawan yang tidak bisu tetapi bisu. Dia menjadi bisu mungkin karena "dia takut atau berkepentingan".
Cendekiawan palsu akan mengelabui mata dan pikiran rakyat dengan kebenaran palsu melalui penyelewengan fakta dan pernyataan keliru. Cendekiawan palsu banyak menggunakan retorika kosong.
BAB II
PPERKEMBANGAN SOSIAL
Sosial merupakan perbedaan seseorang dilihat dari suku bangsa, ras, agama, klan, dsb.Pada intinya hal-hal yang terdapat dalam diferensiasi itu tidak terdapat tingkatan-tingkatan, namun yang membedakan satu individu dengan individu yang lainnya adalah sesuatu yang biasanya telah ia bawa sejak lahir. contohnya saja, suku sunda dan suku batak memiliki kelebihan masing-masing. jadi seseorang tidak bisa menganggap suku bangsanya lebih baik, karena itu akan menimbulkan etnosentrisme dalam masyarakat. diferensiasi merupakan perbedaan yang dapat kita lihat dan kita rasakan dalam masyarakat, bukan untuk menjadikan kita berbeda tingkat sosialnya seperti yang terjadi di Afrika Selatan.
Perkembangan sosial di Indonesia dimulai dengan reformasi yang membawa perubahan terhadap tantanan kehidupan. Reformasi merupakan suatu proses perbaikan dengan melakukan koreksi terhadap unsur-unsur yang rusak, dengan tetap mempertahankan elemen budaya dasar yang masih fungsional, tanpa merubah bentuk masyarakat dan budaya secara total dan mendasar. Transformasi adalah perubahan yang sifatnya lebih cepat, total, mendasar dan menyeluruh. Sedangkan deformasi merupakan kerusakan pada keteraturan sosial tersebut.
Perubahan yang cepat tersebut harus mampu mempertahankan “cultural continuity”, dan disini suatu unsur yang amat perlu dipertahankan adalah kesepakatan-kesepakatan nilai (commonality of values) yang pernah dicapai selama lebih dari 60 tahun silam.
Akibat gejala sosiologis fundamental, maka terjadi pergeseran-pergeseran yang diantaranya sebagai berikut:
1. Pergeseran Struktur Kekuasan: Otokrasi Menjadi Oligarki
Kekuasaan terpusat pada sekelompok kecil elit, sementara sebagian besar rakyat (demos) tetap jauh dari sumber-sumber kekuasaan (wewenang, uang, hukum, informasi dsb.). Krisis dlm representative democracy dan civil society.
2. Kebencian Sosial Yang Tersembunyi (Socio–Cultural Animosity).
Pola konflik di Indonesia ternyata bukan hanya terjadi antara pendukung fanatik Orba dengan pendukung Reformasi, tetapi justru meluas antar suku, agama, kelas sosial, kampung dsb. Sifatnyapun bukan vertical antara kelas atas dan bawah tetapi justru lebih sering horizontal, antara rakyat kecil, sehingga konflik yang terjadi bukan konflik yang korektif tetapi destruktif (tidak fungsional tetapi disfungsional). Kita menjadi “self destroying nation”.
• Konflik sosial yang terjadi di Indonesia bukan hanya konflik terbuka (manifest conflict) tetapi lebih berbahaya lagi adalah “hidden atau latent conflict” antara berbagai golongan.
• Cultural animosity adalah suatu kebencian budaya yang bersumber dari perbedaan ciri budaya tetapi juga perbedaan nasib yang diberikan oleh sejarah masa lalu, sehingga terkandung unsur keinginan balas dendam. Konflik tersembunyi ini bersifat laten karena terdapat mekanisme sosialisasi kebencian yang berlangsung dihampir seluruh pranata sosialisasi (agent of socialization) di masyarakat (mulai dari keluarga, sekolah, kampung, tempat ibadah, media massa, organisasi massa, organisasi politik dsb.
• Kita belum berhasil menciptakan kesepakatan budaya (civic culture)
• Persoalannya adalah proses integrasi bangsa kita yang kurang mengembangkan kesepakatan nilai secara alamiah dan partisipatif (integrasi normatif), tetapi lebih mengandalkan pendekatan kekuasaan (integrasi koersif).
• Mempertimbangkan persoalan diatas, nampaknya suatu “socio-cultural policy” dan “socio-cultural” planning - yan
g berdasarkan analisis sosiologis-antropologis yang mendalam dan metode pemecahan masalah yang dipelajari dari berbagai pengalaman bangsa yang lain - amat kita perlukan.
Kemiskinan dan ketidak adilan sering ”jatuh bersamaan” dengan identitas sosial tertentu.
Karena kebencian sosial yang tersembunyi, maka timbul suatu budaya merebaknya pengangguran. Secara sosiologis, penganggur adalah orang yang tidak memiliki status sosial yang jelas (statusless), sehingga tidak memiliki standar pola perlaku yang pantas atau tidak pantas dilakukan, cenderung mudah melepaskan diri dari tanggungjawab sosial. Dalam kondisi yang ekstrim penganggur tidak peduli terhadap keteraturan sosial, dan bahkan menginginkan terjadinya “kekacauan sosial” (social disorder atau bahkan chaos) agar mendapat keutungan dari ketidak-teraturan itu. Saat ini ada gumpalan massa penganggur yang jumlahnya 9,5 juta (pada th 2003). Mereka banyak dimanfaatkan oleh pelaku politik sebagai alat penekan dan pembenaran aspirasi politik mereka, sehingga demonstrasi saat ini tidak selalu merupakan ekspresi dari aspirasi rakyat yang murni.
BAB III
PERKEMBANGAN BAHASA
Bahasa adalah penggunaan kode yang merupakan gabungan fonem sehingga membentuk kata dengan aturan sintaks untuk membentuk kalimat yang memiliki arti. Bahasa memiliki berbagai definisi. Definisi bahasa adalah sebagai berikut:
1. suatu sistem untuk mewakili benda, tindakan, gagasan dan keadaan.
2. suatu peralatan yang digunakan untuk menyampaikan konsep riil mereka ke dalam pikiran orang lain
3. suatu kesatuan sistem makna
4. suatu kode yang yang digunakan oleh pakar linguistik untuk membedakan antara bentuk dan makna.
5. suatu ucapan yang menepati tata bahasa yang telah ditetapkan (contoh: Perkataan, kalimat, dan lain-lain.)
6. suatu sistem tuturan yang akan dapat dipahami oleh masyarakat linguistik.
Bahasa erat kaitannya dengan kognisi pada manusia, dinyatakan bahwa bahasa adalah fungsi kognisi tertinggi dan tidak dimiliki oleh hewan[1] Ilmu yang mengkaji bahasa ini disebut sebagai linguistik.
Menetapkan perbedaan utama antara bahasa manusia satu dan yang lainnya sering amat sukar. Chomsky (1986) membuktikan bahwa sebagian dialek Jerman hampir serupa dengan bahasa Belanda dan tidaklah terlalu berbeda sehingga tidak mudah dikenali sebagai bahasa lain, khususnya Jerman.
Unsur dasar bahasa
• Fonem
yaitu unsur terkecil dari bunyi ucapan yang bisa digunakan untuk membedakan arti dari satu kata. Contohnya kata ular dan ulas memiliki arti yang berbeda karena perbedaan pada fonem /er/ dan /es/. Setiap bahasa memiliki jumlah dan jenis fonem yang berbeda-beda. Misalnya bahasa Jepang tidak mengenal fonem /la/ sehingga perkataan yang menggunakan fonem /la/ diganti dengan fonem /ra/.
• Morfem
yaitu unsur terkecil dari pembentukan kata dan disesuaikan dengan aturan suatu bahasa. Pada bahasa Indonesia morfem dapat berbentuk imbuhan. Misalnya kata praduga memiliki dua morfem yaitu /pra/ dan /duga/. Kata duga merupakan kata dasar penambahan morfem /pra/ menyebabkan perubahan arti pada kata duga.
• Sintaksis
yaitu penggabungan kata menjadi kalimat berdasarkan aturan sistematis yang berlaku pada bahasa tertentu. Dalam bahasa Indonesia terdapat aturan SPO atau subjek-predikat-objek. Aturan ini berbeda pada bahasa yang berbeda, misalnya pada bahasa Belanda dan Jerman aturan pembuatan kalimat adalah kata kerja selalu menjadi kata kedua dalam setiap kalimat. Hal ini berbeda dengan bahasa Inggris yang memperbolehkan kata kerja diletakan bukan pada urutan kedua dalam suatu kalimat.
• Semantik
mempelajari arti dan makna dari suatu bahasa yang dibentuk dalam suatu kalimat.
• Diskurs
mengkaji bahasa pada tahap percakapan, paragraf, bab, cerita atau literatur.
Tahapan Perolehan Bahasa
• Cooing atau berbunyi
Tahapan ini dilakukan oleh bayi di seluruh dunia, tidak terpengaruh pada jenis bahasa yang ada disekitarnya. Bayi yangtuna rungu pun melakukannya. Biasanya terdiri atas bebunyian dari huruf hidup.
• Babbling atau bergumam
Tahapan ini menunjukkan kecenderungan bayi untuk mengeluarkan berbagai jenis fonem yang digabung antara huruf hidup dan konsonan. Pada tahap ini suara babbling terdengar sama pada bayi berbahasa apapun.
• Ujaran satu kata
Tahapan ini menunjukkan kecenderungan bayi untuk mengeluarkan fonem yang berguna pada bahasanya, baik huruf hidup maupun konsonan. Bayi Jepang tidak akan mengeluarkan fonem /la/. Pada saat ini bayi mulai mengeluarkan satu kata.
• Ujaran dua kata dan penuturan telegrafik
Tahapan ini berlangsung pada usia 1,5 - 2,5 tahun, dimana bayi dan balita mulai menggabungkan dua atau tiga buah kata. Pada saat ini anak mulai belajar memahami sintaks.
• Struktur dasar kalimat dewasa
Tahapan ini mulai muncul pada usia 4 tahun. Ditunjang oleh pertambahan perolehan kosa kata yang meningkat secara eksponensial
Sumber : www.wikipedia.com
BAB I
INTELEKTUAL
intelektual ialah orang yang menggunakan kecerdasannya untuk bekerja, belajar, membayangkan, mengagas, atau menyoal dan menjawab persoalan tentang berbagai gagasan. Kata cendekiawan berasal dari Chanakya, seorang politikus dalam pemeritahan Chandragupta dari Kekaisaran Maurya.
Secara umum, terdapat tiga pengertian modern untuk istilah "intelektual", yaitu:
1. mereka yang amat terlibat dalam idea-idea dan buku-buku;
2. mereka yang mempunyai keahlian dalam budaya dan seni yang memberikan mereka kewibawaan kebudayaan, dan yang kemudian mempergunakan kewibawaan itu untuk mendiskusikan perkara-perkara lain di khalayak ramai. Golongan ini dipanggil sebagai "intelektual budaya".
3. dari segi Marxisme, mereka yang tergolong dalam kelas dosen, guru, pengacara, wartawan, dan sebagainya.
Oleh karena itu, cendekiawan sering dikaitkan dengan mereka yang lulusan universitas. Namun, Sharif Shaary, dramawan Malaysia terkenal, mengatakan bahwa hakikatnya tidak semudah itu. Ia berkata:
"Belajar di universitas bukan jaminan seseorang dapat menjadi cendekiawan... seorang cendekiawan adalah pemikir yang sentiasa berpikir dan mengembangkan (serta) menyumbangkan gagasannya untuk kesejahteraan masyarakat. Ia juga adalah seseorang yang mempergunakan ilmu dan ketajaman pikirannya untuk mengkaji, menganalisis, merumuskan segala perkara dalam kehidupan manusia, terutama masyarakat di mana ia hadir khususnya dan di peringkat global umum untuk mencari kebenaran dan menegakkan kebenaran itu. Lebih dari itu, seorang intelektual juga seseorang yang mengenali kebenaran dan juga berani memperjuangkan kebenaran itu, meskipun menghadapi tekanan dan ancaman, terutama sekali kebenaran, kemajuan, dan kebebasan untuk rakyat."
Tiga tahap perkembangan intelektual
Menurut August Comte ada tiga tahap perkembangan intelektual, yang masing-masing merupakan perkembangan dari tahap sebelumya:
1. Tahap teologis; tingkat pemikiran manusia bahwa semua benda di dunia mempunyai jiwa dan itu disebabkan oleh suatu kekuatan yang berada di atas manusia.
2. Tahap metafisis; tahap manusia menganggap bahwa didalam setiap gejala terdapat kekuatan-kekuatan atau inti tertentu yang pada akhirnya akan dapat diungkapkan. Oleh karena adanya kepercayaan bahwa setiap cita-cita terkait pada suatu realitas tertentu dan tidak ada usaha untuk menemukan hukum-hukum alam yang seragam.
3. Tahap positif: tahap dimana manusia mulai berpikir secara ilmiah.
Cendekiawan bisu dan palsu
Sharif Shaary menegaskan bahawa seorang "cendekiawan" bukan hanya sekadar berpikir tentang kebenaran tetapi harus menyuarakannya, apapun rintangannya. Seorang cendekiawan yang benar tidak boleh netral, dan harus memihak kepada kebenaran dan keadilan. Dia "tidak boleh menjadi cendekiawan bisu, kecuali dia betul-betul bisu atau dibisukan".
Jika betul-betul bisu, seorang cendekiawan masih dapat bertindak dengan menyatakan pikiran melalui penulisan yang akhirnya akan sampai juga kepada khayalak ramai. Inilah yang dikatakan cendekiawan bisu yang tidak bisu. Sebaliknya, terdapat cendekiawan yang tidak bisu tetapi bisu. Dia menjadi bisu mungkin karena "dia takut atau berkepentingan".
Cendekiawan palsu akan mengelabui mata dan pikiran rakyat dengan kebenaran palsu melalui penyelewengan fakta dan pernyataan keliru. Cendekiawan palsu banyak menggunakan retorika kosong.
BAB II
PPERKEMBANGAN SOSIAL
Sosial merupakan perbedaan seseorang dilihat dari suku bangsa, ras, agama, klan, dsb.Pada intinya hal-hal yang terdapat dalam diferensiasi itu tidak terdapat tingkatan-tingkatan, namun yang membedakan satu individu dengan individu yang lainnya adalah sesuatu yang biasanya telah ia bawa sejak lahir. contohnya saja, suku sunda dan suku batak memiliki kelebihan masing-masing. jadi seseorang tidak bisa menganggap suku bangsanya lebih baik, karena itu akan menimbulkan etnosentrisme dalam masyarakat. diferensiasi merupakan perbedaan yang dapat kita lihat dan kita rasakan dalam masyarakat, bukan untuk menjadikan kita berbeda tingkat sosialnya seperti yang terjadi di Afrika Selatan.
Perkembangan sosial di Indonesia dimulai dengan reformasi yang membawa perubahan terhadap tantanan kehidupan. Reformasi merupakan suatu proses perbaikan dengan melakukan koreksi terhadap unsur-unsur yang rusak, dengan tetap mempertahankan elemen budaya dasar yang masih fungsional, tanpa merubah bentuk masyarakat dan budaya secara total dan mendasar. Transformasi adalah perubahan yang sifatnya lebih cepat, total, mendasar dan menyeluruh. Sedangkan deformasi merupakan kerusakan pada keteraturan sosial tersebut.
Perubahan yang cepat tersebut harus mampu mempertahankan “cultural continuity”, dan disini suatu unsur yang amat perlu dipertahankan adalah kesepakatan-kesepakatan nilai (commonality of values) yang pernah dicapai selama lebih dari 60 tahun silam.
Akibat gejala sosiologis fundamental, maka terjadi pergeseran-pergeseran yang diantaranya sebagai berikut:
1. Pergeseran Struktur Kekuasan: Otokrasi Menjadi Oligarki
Kekuasaan terpusat pada sekelompok kecil elit, sementara sebagian besar rakyat (demos) tetap jauh dari sumber-sumber kekuasaan (wewenang, uang, hukum, informasi dsb.). Krisis dlm representative democracy dan civil society.
2. Kebencian Sosial Yang Tersembunyi (Socio–Cultural Animosity).
Pola konflik di Indonesia ternyata bukan hanya terjadi antara pendukung fanatik Orba dengan pendukung Reformasi, tetapi justru meluas antar suku, agama, kelas sosial, kampung dsb. Sifatnyapun bukan vertical antara kelas atas dan bawah tetapi justru lebih sering horizontal, antara rakyat kecil, sehingga konflik yang terjadi bukan konflik yang korektif tetapi destruktif (tidak fungsional tetapi disfungsional). Kita menjadi “self destroying nation”.
• Konflik sosial yang terjadi di Indonesia bukan hanya konflik terbuka (manifest conflict) tetapi lebih berbahaya lagi adalah “hidden atau latent conflict” antara berbagai golongan.
• Cultural animosity adalah suatu kebencian budaya yang bersumber dari perbedaan ciri budaya tetapi juga perbedaan nasib yang diberikan oleh sejarah masa lalu, sehingga terkandung unsur keinginan balas dendam. Konflik tersembunyi ini bersifat laten karena terdapat mekanisme sosialisasi kebencian yang berlangsung dihampir seluruh pranata sosialisasi (agent of socialization) di masyarakat (mulai dari keluarga, sekolah, kampung, tempat ibadah, media massa, organisasi massa, organisasi politik dsb.
• Kita belum berhasil menciptakan kesepakatan budaya (civic culture)
• Persoalannya adalah proses integrasi bangsa kita yang kurang mengembangkan kesepakatan nilai secara alamiah dan partisipatif (integrasi normatif), tetapi lebih mengandalkan pendekatan kekuasaan (integrasi koersif).
• Mempertimbangkan persoalan diatas, nampaknya suatu “socio-cultural policy” dan “socio-cultural” planning - yan
g berdasarkan analisis sosiologis-antropologis yang mendalam dan metode pemecahan masalah yang dipelajari dari berbagai pengalaman bangsa yang lain - amat kita perlukan.
Kemiskinan dan ketidak adilan sering ”jatuh bersamaan” dengan identitas sosial tertentu.
Karena kebencian sosial yang tersembunyi, maka timbul suatu budaya merebaknya pengangguran. Secara sosiologis, penganggur adalah orang yang tidak memiliki status sosial yang jelas (statusless), sehingga tidak memiliki standar pola perlaku yang pantas atau tidak pantas dilakukan, cenderung mudah melepaskan diri dari tanggungjawab sosial. Dalam kondisi yang ekstrim penganggur tidak peduli terhadap keteraturan sosial, dan bahkan menginginkan terjadinya “kekacauan sosial” (social disorder atau bahkan chaos) agar mendapat keutungan dari ketidak-teraturan itu. Saat ini ada gumpalan massa penganggur yang jumlahnya 9,5 juta (pada th 2003). Mereka banyak dimanfaatkan oleh pelaku politik sebagai alat penekan dan pembenaran aspirasi politik mereka, sehingga demonstrasi saat ini tidak selalu merupakan ekspresi dari aspirasi rakyat yang murni.
BAB III
PERKEMBANGAN BAHASA
Bahasa adalah penggunaan kode yang merupakan gabungan fonem sehingga membentuk kata dengan aturan sintaks untuk membentuk kalimat yang memiliki arti. Bahasa memiliki berbagai definisi. Definisi bahasa adalah sebagai berikut:
1. suatu sistem untuk mewakili benda, tindakan, gagasan dan keadaan.
2. suatu peralatan yang digunakan untuk menyampaikan konsep riil mereka ke dalam pikiran orang lain
3. suatu kesatuan sistem makna
4. suatu kode yang yang digunakan oleh pakar linguistik untuk membedakan antara bentuk dan makna.
5. suatu ucapan yang menepati tata bahasa yang telah ditetapkan (contoh: Perkataan, kalimat, dan lain-lain.)
6. suatu sistem tuturan yang akan dapat dipahami oleh masyarakat linguistik.
Bahasa erat kaitannya dengan kognisi pada manusia, dinyatakan bahwa bahasa adalah fungsi kognisi tertinggi dan tidak dimiliki oleh hewan[1] Ilmu yang mengkaji bahasa ini disebut sebagai linguistik.
Menetapkan perbedaan utama antara bahasa manusia satu dan yang lainnya sering amat sukar. Chomsky (1986) membuktikan bahwa sebagian dialek Jerman hampir serupa dengan bahasa Belanda dan tidaklah terlalu berbeda sehingga tidak mudah dikenali sebagai bahasa lain, khususnya Jerman.
Unsur dasar bahasa
• Fonem
yaitu unsur terkecil dari bunyi ucapan yang bisa digunakan untuk membedakan arti dari satu kata. Contohnya kata ular dan ulas memiliki arti yang berbeda karena perbedaan pada fonem /er/ dan /es/. Setiap bahasa memiliki jumlah dan jenis fonem yang berbeda-beda. Misalnya bahasa Jepang tidak mengenal fonem /la/ sehingga perkataan yang menggunakan fonem /la/ diganti dengan fonem /ra/.
• Morfem
yaitu unsur terkecil dari pembentukan kata dan disesuaikan dengan aturan suatu bahasa. Pada bahasa Indonesia morfem dapat berbentuk imbuhan. Misalnya kata praduga memiliki dua morfem yaitu /pra/ dan /duga/. Kata duga merupakan kata dasar penambahan morfem /pra/ menyebabkan perubahan arti pada kata duga.
• Sintaksis
yaitu penggabungan kata menjadi kalimat berdasarkan aturan sistematis yang berlaku pada bahasa tertentu. Dalam bahasa Indonesia terdapat aturan SPO atau subjek-predikat-objek. Aturan ini berbeda pada bahasa yang berbeda, misalnya pada bahasa Belanda dan Jerman aturan pembuatan kalimat adalah kata kerja selalu menjadi kata kedua dalam setiap kalimat. Hal ini berbeda dengan bahasa Inggris yang memperbolehkan kata kerja diletakan bukan pada urutan kedua dalam suatu kalimat.
• Semantik
mempelajari arti dan makna dari suatu bahasa yang dibentuk dalam suatu kalimat.
• Diskurs
mengkaji bahasa pada tahap percakapan, paragraf, bab, cerita atau literatur.
Tahapan Perolehan Bahasa
• Cooing atau berbunyi
Tahapan ini dilakukan oleh bayi di seluruh dunia, tidak terpengaruh pada jenis bahasa yang ada disekitarnya. Bayi yangtuna rungu pun melakukannya. Biasanya terdiri atas bebunyian dari huruf hidup.
• Babbling atau bergumam
Tahapan ini menunjukkan kecenderungan bayi untuk mengeluarkan berbagai jenis fonem yang digabung antara huruf hidup dan konsonan. Pada tahap ini suara babbling terdengar sama pada bayi berbahasa apapun.
• Ujaran satu kata
Tahapan ini menunjukkan kecenderungan bayi untuk mengeluarkan fonem yang berguna pada bahasanya, baik huruf hidup maupun konsonan. Bayi Jepang tidak akan mengeluarkan fonem /la/. Pada saat ini bayi mulai mengeluarkan satu kata.
• Ujaran dua kata dan penuturan telegrafik
Tahapan ini berlangsung pada usia 1,5 - 2,5 tahun, dimana bayi dan balita mulai menggabungkan dua atau tiga buah kata. Pada saat ini anak mulai belajar memahami sintaks.
• Struktur dasar kalimat dewasa
Tahapan ini mulai muncul pada usia 4 tahun. Ditunjang oleh pertambahan perolehan kosa kata yang meningkat secara eksponensial
Sumber : www.wikipedia.com