Kamis, 31 Mei 2012

Mangajar Anak Sopan Santun - Makalah

Cara Mengajarkan Anak Sopan Santun
terkadang kita bertanya bagaimana cara mengajarkan anak sopan santun melihat anak kita bertengkar baik dengan teman sebayanya bagaimana cara mengajarkan anak sopan santun, saudaranya, atau orang lain serta tidak mengakui kesalahannya. Nah, hal ini mungkin akan menjadi sebuah hal yang kurang sopan bagi anak kita, untuk itu, anda sebagai orangtua harus mengerti cara terbaik untuk membuat mereka lebih sopan santun. Terdapat beberapa langkah untuk orangtua agar dapat mengajari anaknya untuk lebih sopan terhadap orang lain. Anak Anda bertengkar dengan adik, sepupu, atau temannya, namun menolak mengakui kesalahannya? Atau, dia enggan meminta maaf? Hal ini memang biasa terjadi, namun Anda tak boleh membiarkannya. Anak perlu diajari untuk bersedia mengakui kesalahan dan meminta maaf.
“Manusia adalah gudangnya kesalahan,” begitu bunyi pepatah bijak. Namun demikian, bukan berarti meminta maaf atas kesalahan menjadi hal mudah, termasuk bagi anak-anak usia sekolah. Agar anak mau meminta maaf, berikut 6 langkah yang dapat orangtua terapkan pada anak.


1. Beri kesempatan pada anak untuk mengungkapkan masalahnya.
Galilah dari diri anak apa yang membuatnya tidak mau/menolak meminta maaf. Baik orangtua maupun guru harus bersikap netral, tidak berpihak kepada pelaku ataupun korban. Jika berpihak, dikhawatirkan pemulihan hubungan keduanya akan semakin sulit.


2. Tidak memaksa anak meminta maaf.
Sering dijumpai orangtua yang memaksa anaknya untuk minta maaf, ” Ayo, kamu minta maaf sekarang sama adik!” Sebetulnya, cara seperti ini tidak benar dan dapat menekan anak. Semakin dipaksa untuk meminta maaf, semakin sulit bagi anak untuk melakukannya. Karena paksaan merupakan sesuatu yang tidak menyenangkan maka hal itu tak akan diulangi lagi. Atau, kalaupun mau, anak akan meminta maaf dengan terpaksa, tidak tulus.


3. Tumbuhkan empati pada anak.
Cara terbaik dengan menumbuhkan empatinya. “Kamu sudah memukul adik seperti itu. Coba, kamu pikirkan kalau kamu yang diperlukan seperti itu, bagaimana rasanya?” Mungkin anak tidak akan langsung menjawab atau berkomentar saat itu juga dengan mengatakan, “Tidak enak”, misalnya. Tapi setidaknya anak tahu, perbuatannya telah membuat orang lain menderita, terganggu, atau tersakiti.

Anda harus bisa memahami, perbuatannya itu tidak baik. Dia juga harusmerasakan apa yang orang lain rasakan. Anak harus melihat dampak yang dia lakukan pada anak lain, bagaimana perasaan orang tersebut, dan sebagainya.


4. Berikan dorongan
Contoh, “Ibu akan senang kalau kamu mendengarkan keluhan orang lain dan kamu mau mengubah perilakumu. Ibu berharap kamu juga bisa meminta maaf atas perbuatan yang sudah kamu lakukan pada temanmu.” Harapan semacam ini tidak memberi kesan memaksa dan sok berkuasa, melainkan mengajari anak untuk bersikap terbuka dan membuatnya berpikir. Apalagi di usia ini anak sudah bisa diajak berpikir mengenai konsekuensi.


5. Kenalkan aneka cara meminta maaf
Ada berbagai cara meminta maaf, baik secara langsung maupun tidak. Ada yang lewat salaman tangan, rangkulan, sentuhan, dan cara lainnya, atau yang terbaru dengan SMS, e-mail, chat, komentar maaf di jejaring sosial seperti Facebook, Friendster, dan lain-lain.



Anak tahu mana yang paling tepat dan cocok. Biasanya dengan dibebaskan mengemukakan pendapatnya, anak akan menemukan banyak ide. Kecuali jika anak memang tak tahu caranya, maka orangtua mempunyai kesempatan untuk memberi masukan.


6. Beri toleransi waktu
Hindari menyuruh anak meminta maaf di saat itu juga. Orangtua memang harus menunggu hingga anak mau melakukannya dengan tulus tanpa terpaksa. Selanjutnya, jika anak sudah siap, orangtua bisa menjadi perantara, membantu anak untuk meminta maaf dan mendamaikan kedua anak yang berseteru.


Para ahli mengingatkan, ajari anak tata krama sedini mungkin. Jangan tunggu hingga anak besar karena bisa berabe. Bagaimana memulainya ?


Tentunya para orang tua akan bangga jika dikatakan bahwa anaknya sangat sopan. Namun sebaliknya, jika anaknya dicap sebagai tak tahu aturan, tentunya sebagai orang tuanya Anda sangat sedih, bukan? Bagaimana mengajari si kecil agar ia bisa berlalu sopan?


Menurut psikolog Hera L. Mikarsa, Ph.D , mengajari sopan santun atau tata krama sebaiknya dilakukan sejak dini. “Bisa dimulai sejak ia berusia 1 atau 1,5 tahun. Saat ia mulai mengerti. “Jadi, jangan tunggu hingga ia besar. Sebab kala ia sudah besar, tentunya ia sudah punya kebiasaan tertentu. Akan memakan waktu lama untuk mengubahnya.”


TEGURAN DAN PUJIAN

Orang tua juga harus terus mengingatkan. Karena si kecil daya ingatnya sangat terbatas. Sehingga ia mudah lupa atas larangan dan anjuran yang diterapkan. Jadi, jangan terkejut jika mereka banyak melanggarnya. Bersabarlah dan jangan bosan-bosan untuk terus mengingatkannya, sampai hal ini menjadi suatu kebiasaan.


Jika ia lupa mengucapkan kata ‘tolong’, tanyakan ‘coba apa kata ajaib yang harus diucapkan kalau meminta sesuatu pada orang lain?’ kalau ia tak bisa juga mengingatnya, jawablah sendiri kata tersebut sehingga ia sadar bahwa kata itu sangat penting. Dan kalau kebiasaan baik itu dibiasakan sejak kecil, kala dewasa akan dengan secara otomatis terucap.


Hasil didikan orang tua ini biasanya akan terlihat saat anak mulai bersosialisasi keluar. Dari situ baru kelihatan apakah ia bersikap sopan atau urakan. Dan karena di usia 2-3 tahun, si kecil juga mulai bermain di luar, orang tua sebaiknya juga mengajarkan tata krama untuk bergaul. Bagaimana ia harussharing saling menunggu giliran. Kalau Lebaran, anak diajarkan bersilaturahmi dan saling minta maaf. Juga diajarkan menghormati orang yang lebih tua. Misalnya, kepada yang tua, bersalamnya dengan cium tangan.


Hera mengakui bahwa anak kecil memang cenderung mengacak-acak rumah orang jika diajak bertamu. Nah, kalau sudah demikian, si orang tua harus mencegahnya. “Jangan didiamkan saja hanya karena merasa enggak enak memarahi anak di rumah orang. Menurut saya tak apa-apa saja anak kecil ditegur, tentunya dengan cara yangacceptable . Daripada ia merusak barang-barang orang lain, kan, lebih malu lagi. Pegangi dia dan dudukkan di sebelah orang tuanya. Kalau ia mulai berkeliaran lagi, segera hentikan.”


Jika hal ini tak efektif, misalnya ia tetap ingin memainkan barang-barang tuan rumah, segera angkat si anak dan pindahkan dia dari tempat yang menarik perhatiannya tersebut. “Alihkan segera perhatiannya, misalnya dengan memberinya mainan kesukaannya. Kalau barang tersebut tak terlihat olehnya lagi, maka biasanya akan segera hilang dari pikirannya.”
Orang tua juga sebaiknya menjelaskan tentang perbedaan aturan di rumah lain. Karena standar kesopanan satu keluarga dengan keluarga lain berbeda. Ada keluarga yang tidak membolehkan memakai sandal dan sepatu di dalam rumah. Sehingga alas kaki itu harus ditinggalkan di luar pintu. Keluarga lain justru membolehkan. “Justru orang tua harus menerangkan perbedaan ini. Untuk memperkaya wawasannya.”

Kalau anak tidak berlaku sopan, misalnya suka meminum minuman si tamu. “Nah, kita harus tegur ia secara tegas tapi lembut bahwa hal itu tidak boleh. Ia harus ambil minumannya di dalam.”

Teguran harus disesuaikan dengan usia dan pribadi anak. Ada anak yang sekali ditegur lantas sudah menangis, tapi ada anak yang cuek saja pada peringatan orang tuanya. “Namun umumnya, di usia batita ini, pelototan mata ibunya saja atau dengan kata-kata ‘Jangan! Awas! Tidak boleh begitu!’, sudah cukup.”


Kalau teguran ini tidak jalan, bisa ditingkatkan dengan ancaman. Misalnya, ‘kalau kamu masih terus begitu, nanti tidak boleh minum susu cokelat.’ Jadi hanya bersifat mengurangi kesenangannya. “Lebih baik tidak dilakukan hukuman fisik karena itu tidak efektif,” ungkap ketua program profesi Fak. Psikologi Universitas Indonesia ini.
Hera juga menyarankan bahwa teguran pada si kecil sebaiknya dilakukan sesegera mungkin. Segera setelah ia melakukan kesalahannya. Sehingga ia bisa menghubungkan hukumannya dengan perbuatannya. Kalau peneguran itu ditunda, misalnya menunggu hingga di dalam rumah, ia sudah lupa. “Anak kecil cepat melupakan suatu peristiwa. Kalau kita menegurnya atau menghukumnya di lain kesempatan, ia akan bingung, ‘Salah saya apa, sehingga Ibu menghukum saya’. Tapi kalau saat itu juga ditegur, ia akan mengerti, ‘Oh, Ibu tidak suka kalau saya melakukan hal ini.’”


Namun Hera juga mengingatkan bahwa anak seusia batita masih spontan. Kata-katanya kadang begitu terus terang, sehingga kadang ada kata-katanya yang menurut orang tua sangat tidak sopan. Misalnya, ‘Lo, tas Tante, kok, gendut kayak perut Tante.’ “Hal ini biasanya dilakukan tanpa kesengajaan. Hanya karena spontanitas yang biasanya menjadi ciri anak-anak.” Yang disengaja adalah, jika mereka mengucapkan kata-kata tak senonoh untuk mengejek. Misalnya mengolok-olok temannya, dsb. “Tapi biasanya ini terjadi
pada anak di atas usia balita. Kalau anak balita lebih ke tak sengaja.” Kalau sudah demikian, tugas orang tualah yang harus terus mengarahkan si kecil.


Tentunya penghargaan pun harus diberikan padanya jika ia bisa memenuhi standar orang tuanya. Misalnya, kala ia tanpa disuruh dengan sendirinya mengucapkan ‘terima kasih’ pada si tetangga yang memberinya sesuatu. Nah, berilah hadiah. Hadiah ini tidak hanya berupa barang, tapi pujian, pelukan, belaian, elusan di kepalanya pun sudah sudah cukup. “Sebab kalaurewards ini berupa barang, jangan-jangan anak akan berbuat baik hanya agar dapat hadiah saja.”